Kau di Belakang Ku (Bagian 1)


FIKSI

Aku Tania Anugrah
Mas Adi Nugroho - Nama suamiku atau mantan suamiku
Dessy Camilla - Assistant ku atau istri muda suamiku
Pinkan Silvano - Sahabatku
Diana Maharani - Istri wakil suamiku di pekerjaannya sekaligus adalah kawan dekatku.
Mas Dewanto - suami dari Dian Maharani

--------------------



Suamiku menceraikanku karena ia menganggapku terlibat perselingkuhan dengan pria lain.

google

Bukan hal baru Mas Adi, suamiku kerap memberondongku dengan pertanyaan dan tuduhan-tuduhan yang menurutku sudah aku jawab dan jelaskan dengan sejujur-jujurnya berulang-ulang, bahwa aku bukan seperti yang ia tuduhkan.

Seperti hari ini, ia mulai menuduhku dan meragukan kejujuranku.

"Aku tidak percaya dengan apa yang kau katakan, Tania!" suara terdengar keras di kupingku membuatku kaget.

"Kami hanya berteman, tidak lebih!" jelasku dengan nada tegas saat menjawab tuduhannya itu.

Ia memandangku dengan marah, wajahnya memerah dan seperti ingin memuntahkan semua kalimat tuduhan yang sudah ia pendam lama. "Mana mungkin ada orang salah ngaku," umpatnya sambil berlalu meninggalkanku setelah membanting kakinya keras ke lantai hingga sendal yang dipakainya hampir terlepas dari kakinya.

Aku yang tadinya tidak terpancing marah akhirnya jadi ikut kesel, tubuhku bergetar jika menahan emosi. Aku sudah berkata jujur dengannya, tapi tetap saja seperti yang aku bilang, suamiku bukannya puas dengan penjelasanku tapi malah sebaliknya menganggap apa yang aku jelaskan hanyalah sebuah kebohongan.

Aku berdiri mengejar langkahnya, aku harus membela diriku.

"Mas, aku sudah berkata sejujur!" teriakku, aku tidak peduli suaraku akan membuat seisi rumah bangun.  Aku langkahkan kakiku lebar-lebar ke arah pintu rumah, namun terlambat suamiku sudah pergi naik mobil, entah ke mana. Aku hanya bisa menghela nafas dan berdiri terpaku di depan pintu garasi yang terbuka, tidak mungkin kan aku berteriak-teriak. Bisa-bisa paparazi yang selalu menunggu berita tentang suamiku akan keluar dari persembunyian, maka besok seluruh surat kabar akan memuat berita tentang kami. Suamiku akan dikejar-kejar pertanyaan, termasuk aku, maka akan lebih runyam hidup kami.  Aku kembali menarik nafas kali ini untuk melegakan rasa sesak di dadaku akibat terlalu menahan emosi. Aku melangkah ke dalam setelah melihat satpam menutup pintu pagar dan menguncinya.

"ah sudahlah..." umpatku lirih

Ketika masuk kembali ke rumah kulihat pandangan iba pembantu rumah tangga kami, segera ia mengalihkan pandangan matanya mungkin ia tidak ingin aku tau bahwa ia mendengar pertengkaran kami. Wanita separuh baya itu sudah seperti keluarga bagi kami, dia sudah bekerja sejak lama semenjak anak-anakku masih kecil. Bi Imah kami biasa memanggilnya, ia memiliki ibu yang dulu bekerja bersama ibuku sehingga keluarganya bukan orang baru bagi keluarga kami. Ia sudah berkeluarga dan anak-anaknya sudah bekerja, sementara suaminya sudah meninggal sehingga ia memutuskan untuk ikut bersama kami dan aku memberikan pilihan kepadanya ikut bersama kami atau pulang kampung menikmati masa tua, apapun keputusan yang diambil aku setuju.

"Ibu mau dibuatkan teh atau saya ambilkan air putih hangat?" tanyanya menawarkan minuman kepadaku, setelah sebelumnya menutup pintu depan rumah. Rupanya ia sejak tadi sudah menunggu masuk ke dalam rumah saat mendengar ribut suaraku tadi.

Aku menggelengkan kepala menolak tawarannya,"terima kasih, Bi Imah. Saya mau istirahat di kamar saja dan bilang anak-anak jangan diganggu dulu," pintaku lirih kepadanya sambil berusaha tersenyum.

"Baik Bu," jawabnya pelan dan ia membiarkanku masuk kamar tanpa bertanya lagi seperti yang biasa ia lakukan. Sementara diriku langsung menuju ke kamarku, mengunci kamar dan menjatuhkan mukaku ke bantal dan menangis. Dadaku terasa mau pecah sejak tadi, tidak biasanya aku menangis meskipun beratnya beban yang aku pikul, namun kali ini aku merasa tidak ada lagi orang yang bisa menjadi tempatku mengeluh. Ibu dan ayahku sudah meninggal, sementara kakak perempuanku dan adik laki-lakiku sudah berkeluarga juga, saat ini bukan saat yang tepat untuk berbagi mengenai masalahku. Masalah keluarga tidak baik dibagikan ke orang lain, meskipun saudara sedarah sekali pun itu prinsipku, setiap orang memiliki masalah mengapa aku harus membebankan lagi dengan masalahku.

+++++++

Aku tidak mudah jatuh cinta, bukan karena aku pernah dikhianati tapi memang bukan hal mudah bagiku untuk jatuh cinta. Namun perjodohanku dengan Mas Adi membuatku harus membuka hatiku untuk mencintai laki-laki yang disodorkan oleh keluargaku. Perlahan aku mencintainya karena dia memiliki kemampuan untuk membuat orang tua, adik kakakku jatu hati padanya. Suamiku pekerja keras, bertanggung jawab dan mau untuk terlibat di kegiatan di gereja yang aku ikuti selama ini. Mas Adi percaya pada Tuhan namun hanya sebatas itu, berjalannya waktu ia menjadi religius bahkan lebih berani berdebat soal isi alkitab dari pada diriku.

Memiliki postur tubuh yang tinggi, wajah yang ganteng serta karir yang bagus membuat dia semakin memilik nilai plus dimata banyak orang termasuk para wanita di sekelilingnya. Namun aku bukan jatuh hati pada harta atau karir yang dimilikinya, karena aku bukan wanita yang tergantung pada laki-laki dalam soal keuangan, sejak remaja aku terbiasa bekerja dan berwirasawata. ++++


Aku tau suamiku sedang banyak masalah, apalagi semenjak ia diangkat sebagai seorang kepala daerah, otomatis membuat pekerjaannya semakin banyak, sehingga  ia tidak punya waktu untuk kami, bahkan untuk dirinya sendiri. Suamiku memang bukan orang biasa, ia memiliki posisi yang cukup tinggi disebuah daerah sehingga terlalu banyak tuntutan dalam pekerjaan, bahkan juga di luar pekerjaan, namun menurutku jika masih ada hubungannya dengan kedudukannya sekarang ini tidak masalah bagiku. Itulah resikonya jika menjadi seorang pelayan masyarakat. Apalagi jika memiliki sikap yang tegas tidak bisa ditawar terutama jika menyangkut rakyat kecil, suamiku berusaha menempatkan dirinya menjadi pelayan, ia rela melakukan apa saja agar rakyatnya sejahtera.

++++++

Pagi itu percakapan satu arah aku dengan suamiku.

"Mas, hari ini aku ada urusan dengan ibu-ibu PKK," aku terbiasa memberikan informasi kepada suamiku kebetulan beberapa kegiatan dilakukan hari sabtu. Kulihat ia hanya menganggukan kepala tanpa berkata apa-apa, apa lagi menoleh ke arahku. Sudahlah pikirku, aku tidak ingin mengganggunya yang kulihat asik sedang membaca sesuatu di tangannya.

"Mas...aku pergi sama sahabatku Pingkan, ya. Dessy tidak ikut, dia mungkin masih tidur," aku menegaskan kembali sekaligus menjelaskan dengan siapa aku akan pergi. Aku segera melangkah dari tempat dimana aku menunggu reaksinya atas kata-kataku yaitu di teras rumah kami, tempat favorite dia jika sedang membaca atau pun berpikir mengenai pekerjaan dan apa pun yang mengganggu pikirannya.  Aku tidak berani mendesaknya, aku berlalu keluar setelah kulihat ia melihat ke arahku tanpa ekspresi dan segera kembali membaca koran yang ada di tangannya.

Dessy adalah assistant yang membantu pekerjaanku. Dia bukan assistan biasa tetapi seseorang yang memang diperbantukan di rumahku untuk membantu tugas-tugasku sebagai istri dari seorang pejabat,  sekaligus merangkap pengawal pribadiku. Semenjak menjadi istri pejabat mau tidak mau, aku harus menerima ada seorang petugas khusus yang disediakan untuk menjaga kami sekeluarga, khusus untukku adalah seorang perempuan. Pengawal perempuan lebih nyaman menurutku.

Semalam kami keluar sampai malam untuk urusan pekerjaan, sehingga aku berpikir lebih baik sabtu ini Dessy diam di rumah dan beristirahat. Aku memang sejak dulu terbiasa mandiri sehingga memiliki assistant kadang malah membuat sulit bergerak, karena ada orang lain yang disampingku, mengikuti setiap langkahku. Selain itu hari ini aku tidak berpikir akan pergi sepagi ini di hari sabtu. Namun setelah menerima pesan singkat dari Pingkan bahwa hari ini ada jadwal menyelenggarakan senam pagi bersama dengan ibu-ibu PKK di sebuah lingkungan perumahan yang merupakan masyarakat binaan suamiku, maka aku memutuskan untuk pergi. Aku tidak ingin ibu-ibu itu kecewa jika mengetahui aku tidak jadi hadir. Aku sendiri lupa memasukan acara ini ke agendaku, karena kupikir ini adalah acara tambahan saja bukan agenda resmi sebagai istri seorang pejabat.

Sore itu saat aku bersama Pingkan.

Setelah pertemuan  dengan ibu-ibu PKK, Pingkan mengajakku untuk mampir sebentar di kafe, seperti biasa sore menjelang malam minggu, kami memiliki banyak waktu luang.

Di dalam kendaraan aku lebih banyak memperhatikan lalu lintas yang berseliweran meskipun masih sore hari.

"Tania, kamu ada masalah apa?" Pingkan langsung membuka percakapan, setelah kami memilih tempat duduk dan kemudian memesan menu makanan masing-masing. Aku memang pendiam tapi hari ini aku tidak banyak tersenym seperti biasanya. Sahabatku sejak kulia ini terlihat menarik nafas, rupanya ia tidak sabar menunggu reaksiku atas pertanyaannya.

"ayo lah, cerita. Jangan di simpan sendiri, aku kan sahabatmu," ia berbicara sambil tangannya mengaduk kopi pesanannya yang baru saja diantar oleh pelayan. Aku memandangnya pelan, enggan hatiku untuk menceritakan persoalan rumah tanggaku dengan dirinya, meskipun ia sudah seperti saudara bagiku.

"aku tidak apa, Pingkan. Mungkin hanya lelah saja," jawabku berdalih sambil tersenyum berusaha mengalihkan perhatiannya pada wajahku yang murung. Pingkan tetap diam seperti tidak puas dengan jawabanku.

"Semalam aku pulang malam, sehingga mungkin kurang istirahat," kali ini aku melihat ke arah matanya, berusaha meyakinkan bahwa itulah yang terjadi.

"Oke lah. Ayo dimakan," ajaknya sambil menunduk dan mengaduk mangkuk soto yang baru saja dihidangkan oleh pelayan di hadapannya. Mangkok soto terlihat mengepul mengeluarkan asap mungkin baru saja diangkat dari panci di atas kompor. sementara aku juga sibuk dengan mengaduk-aduk pesananaku, yaitu gado-gado siram, salah satu makanan favoritku.

Aku mengikuti ajakannya. "Bon apetit!" seruku kepadanya. Perutku memang sudah sejak tadi lapar meskipun tadi ada makanan kecil, tapi aku memang tidak terbiasa ngemil.

Kami sore ini hanya membicarakan hal-hal yang ringan seputar program kami untuk ibu-ibu dan anak-anak binaan. Kami berdua memang sangat menyukai pekerjaan sosial apalagi menyangkut masyarakat sosial menegah ke bawah. Mereka adalah kelompok yang paling sering terlupakan untuk di bina dan diperhatikan dalam masyarakat. Sehingga ketika suammiku memiliki kedudukan sebagai kepala daerah, memudahkanku untuk melakukan hal tersebut bagi mereka. Aku dimudahkan dengan posisi suamiku, bukan saja kemudahan utuk bertemu dan mengumpulkan mereka, tapi juga ada dana khusus yang tersedia untuk melakukan pembinaan dan pemberdayaan kelompok ini, dan tidak sedikit jumlahnya. Sehingga aku mengajak kawan-kawan dan serta istri rekan suamiku untuk ikut terlibat dalam pembinaan ini, termasuk salah satunya Pingkan. Ia adalah sahabatku ketika kuliah dulu dan sekarang sudah menjadi seorang pengusaha yang sukses.

Menjelang Malam

Ku lihat pembantiku tergopoh-gopoh membukakan garasi mobil dengan remote di tangannya, ia menungguku keluar dari mobil, seperti biasa untuk membantu membawakan tas dan map bawaanku, karena memang cukup banyak dan berat jika dibawa sendiri.

"Sepi, Bi," sapaku seperti biasa kepadanya, karena tidak melihat putra bungsuku keluar menyambut kepulanganku.

"Baru saja bapak pergi dengan anak-anak, bu. Katanya mau nonton dan sekalian makan di luar," jawab bibi sambil mengikutiku dari belakang.

Aku sedikit heran, tidak biasanya suamiku pergi mengajak anak-anak nonton tanpa mengajakku. Mas Adi tidak meneleponku, bahkan mengirim pesan melalui hp pun tidak, mungkin ia tidak maunggangguku atau masih kesal padaku.

"Bi, Bu Dessy sudah makan?" aku baru ingat bahwa ada orang lain di rumahku, karena biasanya Dessy harus aku ingatkan untuk makan, jika aku sudah makan di luar seperti saat ini. Aku lupa berpesan tadi sebelum pergi untuk tidak menungguku makan malam.

"Oh ya, bu. Bu Dessy ikut nonton sama anak-anak dan bapak," jawab pembantu lagi cepat.

"Ibu, saya siapkan makan malam, ya," suaranya kembali memecahkan keheningan mendadak di antara kami

"Tidak usah, Bi, saya sudah makan tadi di luar. Kalian saja yang makan," aku tersenyum dan berlalu menuju kamarku, aku lelah setelah seharian di luar dan mungkin perasaanku yang paling dominan membuatku tidak bersemangat.

Di rumahku memang ada banyak pekerja selain pembantu dua orang, satu tukang kebun dan dua sopir. Jika mereka tidak sedang pulang atau keluar, biasanya mereka akan makan di rumah, sehingga aku selalu mengingatkan untuk tidak menunggu kami untuk makan, karena kami kerap jika sudah terlambat pulang pasti makan di restauran atau saat menghadiri undangan.

Masuk ke kamarku bukannya merasa tenang tapi justru sebaliknya aku merasa ada perasaan yang mengganjal entah apa. Aku segera mengambil telepon genggam yang sejak tadi tidak sentuh  karena menyupir , ternyata ada beberapa pesan masuk. Tidak ada pesan dari Mas Adi, hanya anakku dan Dessy asistanku mengirim pesan bahwa mereka pergi nonton sama bapak, maksudnya suamiku. Rupanya malam ini ada undangan untuk nonton film premier sehingga kedua anakku ikut suami, kecuali yang tertua ia tinggal kost selama mengikuti kuliah dan hanya pulang sekali-kali di akhir pekan.

Aku dan suamiku memang sudah cukup lama membina rumah tangga, 22 tahun. Menurutku waktu yang tidak pendek, namun hingga saat ini aku merasa suamiku semakin berubah dia kerap marah bahkan untuk hal-hal yang kecil. Sementara aku berusaha sabar, karena aku tau tipikal suamiku orangnya tidak bisa dibantah. Ia adalah anak pertama dan menjadi andalan keluarganya setelah ayahnya meninggal, ia menggantikan kedudukan kepala keluarga di keluarganya sehingga ibunya lebih dominan menguasai suamiku dari pada aku. Bagiku bukan masalah karena ibunya juga ibuku, itu prinsipku setelah kami menikah. Aku ingat ketika baru beberapa hari menikah, kami langsung menempati rumah kami sendiri dan ibunya sering mengunjungi kami, bahkan kami menyediakan satu kamar khusus buat ibunya.

Aku masih ingat permintaan ibu mertuaku pada bulan ke tujuh kehamilanku.

"Tania, kau tidak keberatankan jika ibu sering berkunjung?" tanya ibu mertuaku suatu sore saat ia baru saja tiba dan kami sedang menikmati minum teh bersama. Saat itu aku sedang hamil anak pertama.

"Tidak apa bu. Bukankan rumah kami juga rumah Ibu," jawabku sopan bukan basa-basi. Aku memang tulus mencintai ibu mertuaku karena tanpa dia tidak mungkin suamiku jadi sukses dalam pendidikan dan pekerjaanya jika tanpa campur tangan ibunya.

Ibu mertuaku tersenyum mendengar penjelasanku. "Terima kasih, Tania. Bagaimana dengan kandunganmu?" tanyanya mengalihkan pembicaraan lain.

"Baik, bu. Tidak ada masalah." Jawabku dengan suara yang gembira dan tersenyum ke arahnya.

"Sudah tujuh bulan ya, Di. Kamu jangan sering keluar kota, kasihan istrimu jika melahirkan tanpa kehadiranmu," rupanya pesan ini diarahkannya ke suamiku yang sedang asik melihat siaran berita di televisi.

Kulihat suamiku hanya mengangguk dan menoleh serta memandang mesra kepada diriku dan kandunganku. Waktu itu suamiku sangat menyayangiku, mungkin kami masih penganten baru pikirku saat itu. Mas Adi belum terjun ke pemerintahan seperti saat ini, ia adalah pengusaha yang cukup sukses di daerah kelahirannya Surabaya. Keluarganya cukup terkenal karena kesusksesannya membangun bisnis keluarga di daerahnya. Aku yang dulunya tinggal di Jakarta di boyong tinggal di sana dan rumah kami tidak jauh dari rumah ibunya dan adik-adiknya. Ia lima bersaudara dua perempuan dan tiga laki-laki termasuk suamiku. Saat itu tidak ada yang patut di kuatirkan semua berjalan lancar hingga kelahiran anak ke tiga kami, selain bisnis yang melonjak dan suamiku mulai ikut dalam pemilikan anggota dewan perwakilan rakyat. Kami bahagia, anak-anak tumbuh menjadi remaja yang membanggakan keluarga hingga suatu hari kami harus pindah ke Jakarta karena suamiku ingin karir pemerintahannya lebih meningkat lagi.

Sejak itu lah sikap suamiku mulai berubah.


Note. Kisah ini hanya hayalan penulis saja.....!! jangan dibawa baper ya.

CONVERSATION

0 komentar:

Post a Comment