Bila Terdiagnosa TBC

Diagnosa dokter anak tersebut membuat kami terdiam dan tidak mampu berpikir. Balitaku dinyatakan positip terkena TBC.

Sudah hampir satu bulan, anak kami yang terkecil menderita batuk berkepanjangan. Menurut dokter spesialis anak langganan kami, di salah satu rumah sakit swasta di Tangerang, ia alergi terhadap segala macam jenis susu sapi. Sehingga kami harus memilih susu alternatif lain sebagai pengganti. Jika mendadak alerginya kambuh, maka akan sangat susah sekali untuk menanganinya apalagi menyembuhkannya.

Saat itu kami telah memiliki tiga anak, semua  masih di bawah umur 10 tahun sehingga perlu ekstra hati-hati dalam menanganinya. Jika salah penanganannya, maka semua akan saling menjangkitkan. Akibatnya akan membuat situasi semakin sulit. Kadang waktu akhir minggu kami dihabiskan hanya untuk memeriksa kesehatan mereka secara rutin. Seperti jadwal suntik mereka yang harus benar-benar sesuai waktu yang telah ditetapkan saat kunjungan sebelumnya. Namun tidak menjadi masalah bagi kami, selama mereka sehat meskipun harus bermalam mingguan di rumah sakit.

Saat dokter menjelaskan keadaan si bungsu berdasarkan rangkaian pemeriksaan serta didukung oleh hasil lab dan ronsen yang telah dilakukan sebelumnya, membuat kami tidak siap menerima diagnosa tersebut. Namun karena dalam pandangan saya bahwa seorang dokter adalah orang yang berpengalaman dan ahli, maka kami menerima saja hasil diagnosa tersebut, walaupun terbersit sedikit  ketidak percayaan akan hasilnya. Akhirnya saya harus rela si kecil mendapatkan pengobatan sebagai seorang penderita TBC. Ia diharuskan minum obat secara rutin minimal 3 bulan dengan dosis 3 kali sehari. Sebagai ibu, saya selalu menghadapi kesulitan untuk meminumkan obat yang berwarna merah seperti bubuk dan memiliki rasa pahit, sehingga ia meronta-ronta untuk menolak. Terkadang saya harus menjepitnya tubuhnya yang mungil dengan sedikit paksaan agar dapat meminumkan obat tersebut dengan sukses. Waktu berjalan 1 bulan, namun batuk masih sering datang juga.

Suatu hari dokter yang sama menyatakan 2 anak kami yang lebih tua terdiagnosa penyakit yang sejenis. Semakin membuat saya dan suami kecewa. Kami berdua mulai curiga dengan setiap pengasuh  yang pernah tinggal bersama kami, bahkan pada keluarga yang rutin bertemu.  Sepulang dari rumah sakit kami mendata semua orang yang pernah tinggal bersama kami sekeluarga. Mereka dicurigai sebagai pembawa penyakit tersebut. Tetapi di balik itu kami juga meragukan ada yang tidak beres dari hasil penjelasan dokter anak tersebut. Akhirnya diputuskan untuk pergi ke dokter rumah sakit yang berbeda untuk memperoleh second opinion atau pendapat kedua dari seorang ahli paru-paru, tujuannya untuk meyakinkan pemeriksaan sebelumnya. Agar kami tidak salah dalam mengambil tindakan.

Serangkaian pemeriksaan kami lakukan ulang, dan dokter ahli paru tersebut juga membantu membaca hasil lab dan ronsen sebelumnya yang telah anak-anak kami lakukan. Ternyata dengan yakin dokter tersebut menyatakan bahwa, anak-anak kami BERSIH dari TBC alias bebas dari jenis penyakit tersebut. 

Beberapa alasan yang ia berikan untuk membuktikan, antara lain:
  1. Berat anak-anak kami normal alias tidak kelebihan atau kekurangan berat badan. Umumnya anak penderita TBC berat badannya akan berada di bawah rata-rata anak seusianya. Sementara mereka saat itu sangat sehat menurut hasil catatan dan pemeriksaan kesehatan selama ini. Di mana garis  kurvanya menunjukan peningkatan yang normal.
  2. Cara mengambil dan membaca ronsen bisa saja tidak atau kurang tepat, menurut pendapat dokter ahli paru-paru ini yang juga seorang ahli membaca hasil ronsen. Mungkin dikarenakan kekurang-mampuan petugas yang melakukan ronsen terhadap pasien akan berpengaruh kepada hasil gambar. Apalagi untuk pasien anak-anak, yang kerap kali bergerak atau tidak mudah disuruh diam. Kemudian petugas yang membaca hasil ronsen pun harus memiliki keahlian khusus yang benar-benar bisa diandalkan dan menjadi pegangan bagi dokter yang bersangkutan. Menurut dokter ahli paru lulusan Jerman tersebut yang memiliki praktek di salah satu rumah sakit swasta di daerah Jakarta Pusat, bahwa di Indonesia sangat kurang sekali memiliki tenaga ahli yang mampu mengambil dan membaca hasil ronsen secara benar.
  3. Batuk yang diderita anak-anak kami,  bisa saja karena alergi dan batuk biasa. Sehingga yang harus dilakukan adalah pengaturan pola makan dan lebih hati-hati dalam memilih jenis susu dan makanan yang akan di konsumsi oleh mereka.
Sebelum kami pulang, untuk lebih meyakinkan lagi, dokter tersebut memberikan kartu namanya dan nomor khusus yang bisa dihubungi untuk bertanya bila masih ada keragu-raguan dengan penjelasannya. Dokter yang simpatik ini juga siap untuk dimintakan tolong jika kami mendapat hambatan dalam proses kepindahan. Kebetulan saat itu kami berencana akan pindah ke luar negeri dalam waktu dekat, sehingga diagnosa TBC bisa menghambat proses tersebut.

Setelah kunjungan tersebut membuat kami lega karena anak-anak dinyatakan sehat dan tidak perlu minum obat bubuk merah tersebut secara terus menerus. Yang sangat disayangkan adalah anak saya yang bungsu sempat minum sebanyak hampir 1 bulan lebih untuk  asupan yang tidak perlu masuk ke dalam tubuhnya. 

Kami berdua sempat datang ke dokter spesialis anak yang pertama, untuk mempertanyakan diagnosa yang diberikan olehnya. Namun dokter tersebut seperti menghindar, menganggap dirinya benar, walaupun akhirnya ia mengakui hasil diagnosa dokter kedua benar adanya. Akhirnya saya mengirim surat komplain kepada pihak direksi rumah sakit yang bersangkutan agar lebih hati-hati dan melakukan pengawasan terhadap dokter dan karyawan mereka. Berharap tidak terjadi kesalahan lagi dalam memberikan diagnosa, karena akan fatal akibatnya. Pihak direksi rumah sakit sempat bertemu dengan kami untuk menindaklanjuti permasalahan ini, namun seperti biasa tidak ada jalan keluar karena semua merasa telah benar dalam menangani pasien.

Setelah beberapa tahun berlalu, anak-anak tumbuh dengan sehat. Ketika kami berkunjung ke rumah sahabat di Indonesia, ternyata bayinya yang baru berusia tiga bulan didiagnosa TBC oleh dokter yang sama. Setelah menceritakan pengalaman kami terhadap kawan ini, maka mereka mengikuti ajuran kami yaitu mencari pendapat dari dokter ahli yang lain. Hasilnya sama, bayi mereka yang telah ditunggu bertahun-tahun kehadirannya ini dinyatakan TIDAK terindikasi terkena TBC. 

Saya berbagi pengalaman di sini karena berharap sebagai orang tua kita harus lebih hati-hati terhadap diagnosa yang diberikan oleh dokter meskipun mereka ahli, karena bisa saja mereka keliru. Ingat dokter juga manusia, kita lah yang wajib melindungi buah hati kita.

- Tiada harta yang paling berharga di bumi ini, kecuali buah hati kita-






CONVERSATION

0 komentar:

Post a Comment